Breaking News

Fenomena Ahok dan Runtuhnya Kesombongan Partai Politik




Indoheadlinenews.com - Jika tak ada perubahan, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan maju dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta dari jalur non partai alias independen. Ini bukan karena tak ada partai yang mendukung.

Pekan lalu, Partai Nasional Demokrat (NasDem) sudah menyatakan dukungannnya untuk Ahok maju di Pilgub DKI. Bukan tak mungkin partai-partai lain, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) juga bakal menyusul.

Toh hingga Senin, 15 Februari 2016 kemarin Ahok masih kekeuh, ingin maju Pilgub DKI lewat jalur independen. Ahok memiliki modal yang cukup untuk maju dari jalur non partai politik. Relawan yang tergabung dalam TemanAhok hingga Senin kemarin mengaku sudah mengumpulkan 703.640 fotokopi KTP dukungan. Angka dukungan yang didapat Ahok sudah melampaui syarat untuk maju Pilgub DKI dari jalur independen yakni: 532 ribu fotokopi KTP.

Ahok juga memiliki 'modal' popularitas dan elektabilitas yang tinggi. Hasil survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang dipublikasikan pada 25 Januari 2016 lalu mencatat elektabilitas Ahok mencapai 45 persen. Angka ini masih yang tertinggi dibanding elektabilitas nama-nama kandidat lain sebagai bakal cagub DKI.

Di bawah Ahok, ada Ridwan Kamil dengan elektabilitas 15,75 persen dan disusul Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sebesar 7,75 persen sebagai Cagub DKI. Selain ketiga nama itu masih ada nama tokoh lainnya seperti mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault dengan elektabilitas 4,25 persen.

Menarik mengamati fenomena Ahok menjelang Pilkada DKI 2017 ini. Seperti diketahui pada September 2014 lalu, Ahok mundur dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Sejak itu dia tak punya ikatan dengan partai politik mana pun.

Langkah Ahok lepas dari ikatan partai politik cukup berani. Padahal sebagai Gubernur DKI yang menggantikan Joko Widodo (Jokowi), dia perlu sokongan partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah agar program Pemerintah Provinsi bisa berjalan dengan baik.

Akibat tak 'mesra' dengan parlemen, Ahok sempat beberapa kali terlibat perseteruan dengan politikus anggota DPRD DKI. Kasus yang paling menonjol adalah perseteruan akibat dugaan adanya dana siluman sebesar Rp 12,1 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja DKI Jakarta tahun 2013. Adanya dana siluman tersebut diduga melibatkan oknum anggota DPRD dan pegawai Pemprov DKI. Ahok dan sejumlah anggota DPRD pun terlibat saling tuding. Perseteruan ini sempat membuat pengesahan APBD DKI tahun 2015 tertunda.

Selain di DPRD, Ahok mestinya butuh partai politik sebagai kendaraan untuk maju Pilgub DKI. Mesin-mesin partai politik diperlukan untuk mendongkrak perolehan suara Ahok. Namun Ahok tak bergeming dan tetap pada pendiriannya yakni berada di luar partai politik. Dia yakin asal bekerja dengan benar untuk membenahi Jakarta, dukungan untuk maju menjadi bakal calon gubernur DKI 2017-2022 akan datang dengan sendirinya.

Terbukti, hasil survei CSIS menunjukan bahwa tanpa bantuan partai politik, popularitas dan elektabilitas Ahok sangat tinggi. Bahkan Ahok diprediksi bakal memenangkan Pilkada DKI siapa pun lawannya, termasuk yang diusung oleh partai politik.

Di Jakarta, partai politik seperti dibuat tak berdaya karena mereka tidak punya kader berkualitas untuk dicalonkan melawan Ahok. Ahok berhasil membalik paradigma lama. Di era sebelumnya menjelang Pilkada para politikus selalu sibuk melobi partai politik agar dia didukung sebagai calon gubernur, wali kota maupun bupati.

Tak jarang si kandidat menyetor sejumlah uang sebagai 'mahar' agar partai politik mau mengusung dia. Partai politik beralasan, 'mahar' tersebut digunakan sebagai ongkos politik dan biaya kampanye.

Namun kini di DKI berlaku sebaliknya, partai politik seperti berebut ingin mengusung Ahok, baik yang tulus maupun berharap citra partainya terdongkrak. Fenomena Ahok ini sekaligus menjadi kritik terhadap partai politik agar tak lagi jemawa alias sombong dan mengabaikan proses pengkaderan.

Partai politik tak lagi bisa terlena dengan hanya menyiapkan kader 'instan' seperti terjadi di Pemilu 2004, 2009 dan 2014 lalu. Kala itu partai politik berlomba memasang tokoh publik, semisal artis atau pengusaha sebagai vote getter untuk menggenjot perolehan suara.

Kesuksesan memasang kader 'instan' ini rupanya merembet, tak hanya di ajang pemilihan umum melainkan juga ke pemilihan kepala daerah. Fakta ini jelas membahayakan kehidupan bernegara. Selamanya partai politik hanya akan mengandalkan figur artis, bukan kemampuan politik seorang kader.

Partai tak lagi peduli dengan kualitas dan ideologi kader, yang penting dia bisa memberi modal uang, dan sumbangan suara. Meski sudah disadari dampak buruknya, toh kebiasaan ini tetap berlangsung sampai sekarang. Begitu muncul calon kepala daerah seperti Ahok, partai politik pun kelabakan.

Kini Ahok seperti 'menjewer' partai politik. Tak ada lagi kader 'instan'. Masyarakat sudah mulai cerdas untuk memilih calon pemimpin yang benar-benar memiliki kinerja bagus. Sudah saatnya partai kembali menjalankan fungsi pengkaderan, menyiapkan dan menyeleksi calon wakilnya yang akan duduk di jabatan politik.

Keberhasilan partai melakukan pengkaderan akan menghasilkan pemimpin handal, kehidupan politik yang demokratis serta hubungan sosial yang harmonis. Ketika proses pengkaderan berjalan dengan baik, partai politik tentu tak akan kesulitan mencari lawan sepadan untuk Ahok. Potensi menang pilgub dari calon independen juga lebih besar karena partai politik memiliki basis konstituen jelas dan militan.

Fenomena Ahok seolah ingin membuktikan bahwa jika ingin dipilih oleh rakyat maka bekerjalah dengan baik. Sumber: Erwin Dariyanto, jurnalis di detikcom. 

baca juga: -Bimbim "Slank" Dukung Ahok Bukan Ahmad Dhani karena Logika Politik

- Eksklusif! Kisah Rossa di Kalijodo, hanya dapat 50 ribu dari sang Mami  

Tidak ada komentar