Breaking News

Sang "Pakar Mantan" Serang SBY Yang Sindir Jokowi Pakai Sandal




Indoheadlinenews.com - Pak SBY memang tidak ada matinya, belum selesai cerita keberhasilannya. Setelah sebelumnya memberikan data menipu, kini mengulang kembali kisah kesuksesannya soal menteri kompak.

Bahasan menteri kompak ini sebenarnya sudah lama, namun waktu itu @Pakar_Mantan tidak membahasnya karena cukup berprikemantanan, waktu itu cukuplah saya ingatkan tentang Hambalang. Tapi berhubung kini Pak SBY kembali mengulang cerita kesuksesannya, maka Pakar Mantan akan menjawab curhatnya. Selamat datang di “Pakar Mantan Menjawab”


Jujur Pakar Mantan salut dengan SBY jika benar ceritanya sebijak dan seheroik itu. Tapi publik harus tau, SBY tidak mau menerima tawaran menteri karena saat itu posisi Gusdur yang keluarkan dekrit memang sudah sangat lemah secara politik. Sehingga posisinya sebagai Presiden sudah hampir pasti diganti oleh Megawati yang saat itu menjadi Wapres.


Pakar Mantan melihat SBY bukannya mundur karena tidak sepemikiran, melainkan karena desakan politik yang memintanya mundur dari Menko Polsoskam karena Gusdur sedang bersitegang dengan DPR. Selain itu SBY pasti tau resikonya jika bertahan dengan Gusdur: karir politiknya terhambat. Sebab Megawati hampir pasti jadi naik posisi menjadi Presiden. Itulah kenapa SBY memilih mundur dan secara otomatis berada di zona aman bersama Megawati. Sehingga benar saja saat Megawati naik jadi Presiden, SBY dilantik jadi Menko Polkam.
 

Dari kacamata Pakar Mantan, saya tidak melihat sikap bijak dari keputusan mundur dan tidak mau menerima jabatan menteri. Mundurnya pun bukan karena tidak sepemikiran, melainkan ingin mengamankan posisi Menko Polsoskam, yang kalau bertahan dengan Gusdur dan Megawati naik jadi Presiden, SBY tak akan masuk dalam jajaran menterinya.
Jadi Pak SBY jangan ajari kami etika politik. Sebab yang dilakukan SBY adalah strategi kepentingan politik dan kekuasaan.
 

Pakar Mantan mengakui bahwa menteri di era SBY memang kompak. Jarang ada kegaduhan antar menteri. Tapi saya lihat itu karena SBY cukup diktator dalam memimpin. Sehingga semua harus sesuai kemauan SBY. Semua harus sependapat dan sepakat karena hampir semua parpol dirangkul yang membuat semua kebijakan berakhir politis. Rakyat tidak dilibatkan dalam alam demokrasi. Kalaupun rakyat demonstrasi, tidak ada yang didengar. Salah satu bukti konkritnya adalah narapidana bisa tetap jadi ketum PSSI. Semua yang berseberangan bungkam perlahan dan senyap.
 

Kegaduhan paling besar mungkin saat KPSI vs PSSI. Namun SBY juga berhasil meredamnya dengan mengakomodir mafia KPSI untuk masuk dan menguasai PSSI, tentu saja via Menpora yang sering menganalisa video porno.

Jadi kalau dulu menteri dan politisi Demokrat banyak korupsi, itu karena semua kebijakan berdasarkan hitungan politis. “20% dari APBN milik Demokrat” seperti pengakuan Anggelina Sondakh. Rakyat tidak dilibatkan dalam memberi masukan dan pendapat. Menteri-menteri juga tidak dibolehkan menyampaikan pendapat ke publik agar rakyat bisa menilai. Semua diselesaikan di dalam sidang -kalau tidak mau disebut semua dibungkam.
 

Kondisinya berbeda dengan sekarang. Contoh saat Sudirman Said dan Rizal Ramli beda pendapat soal darat dan laut blok Masela, publik diberi pencerahan dan pengetahuan. Kalau di darat positif negatifnya apa, kalau di laut bagaimana? Semua terang benderang dan terbuka. Sehingga rakyat juga ikut mengontrol setiap kebijakan pemerintah. Bersama-sama.

Bahwa Presiden memutuskan blok Masela dibangun di darat, itu sudah hasil pertimbangan dari berbagai pihak yang tentunya setelah mendengar suara masyarakat. Rakyat biasa pun kini tahu bahwa ada blok Masela. Bisa kita pantau bersama-sama.

Itulah hikmah dari kegaduhan yang dipandang negatif oleh SBY. Tapi menurut Pakar Mantan kegaduhan seperti ini jauh lebih baik ketimbang rukun damai tapi tiba-tiba publik dikejutkan dengan bangunan super besar namun tanahnya geser: Hambalang. Ini namanya diam-diam Hambalang.


Kalau Pak SBY membanggakan menterinya akur dan damai, itu cara usang yang perlu ditinggalkan. Lagipula menteri juga rakyat biasa yang bebas memberi tahu rakyat tentang pandangannya. Tidak boleh dilarang-larang oleh Presiden seperti zaman SBY. Itu namanya otoriter Suharto. Rakyat juga perlu tau, karena negara ini milik bersama. Kabinet dan pemerintah hanya pembantu pelaksana. Tidak boleh ada lagi kabinet diam-diam Hambalang.




Untuk argumentasi satu ini sepertinya Pak SBY sudah menjadi kaum Salawi tapi jalur VIP bersama para pengamat-pengamat sok peduli tapi sebenarnya berniat menjatuhkan Jokowi.
Jadi begini Pak SBY, soal jonan tidak mengizinkan kereta cepat itu sudah benar. Sebab izin pembangunan belum dikeluarkan oleh Kemenhub.
 

“Semua studi engineering, termasuk studi tanah, harus lengkap,” kata Jonan seusai peresmian Bandar Udara Harun Thohir di Bawean.
 

Studi tanah itu di antaranya mengenai hidrologi dan hidraulika untuk mekanika tanah. Jonan menggambarkan, daerah rencana trase pembangunan kereta api cepat itu bisa jadi merupakan daerah yang rawan longsor. Jadi studi teknik yang lengkap dibutuhkan untuk mengetahui potensi dan risiko di sana.


Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 66 Tahun 2013 tentang Perizinan Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum menyatakan terdapat sebelas dokumen yang harus dipenuhi PT KCIC.
 

Sebelas dokumen itu adalah surat permohonan, rancang bangun, gambar teknis, data lapangan, jadwal pelaksanaan, spesifikasi teknis, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), metode pelaksanaan, izin lain sesuai dengan ketentuan perundangan, ada izin pembangunan, dan 10 persen lahan sudah dibebaskan.
 

Itu semua bukan mempermalukan Presiden. Tapi menteri yang taat pada aturan. Jika memang aturannya begitu, maka harus dilaksanakan persis seperti itu. Kalau memang ada aturan yang dinilai menghambat, mari dibahas bersama. Tapi jika tidak, maka aturan harus ditegakkan. Ingat, jangan diam-diam Hambalang. Jagan sampai setelah tanahnya bergeser, baru kita tau ada bangunan megah Hambalang. Ini kan berarti tidak sesuai prosedur. Nah begitupun dengan kereta api cepat.




Untuk yang terakhir ini saya kurang paham maksud Pak SBY. Kenapa bawa-bawa warung kopi? Lagipula apa yang salah dengan warung kopi? Lebih baik lembaga terhormat jadi warung kopi dibanding jadi tempat prostitusi yang semuanya serba pamer paha dada demi dana APBN. Nah lho yang baca pasti ikutan bingung. Haha sekali-kali bolehlah Pakar Mantan niru SBY.






Lalu sendal? Ini apa maksudnya saya juga kurang paham. Tapi kalau ada petani mau bertemu Presiden Jokowi ya silahkan saja pakai sendal jepit, bawa proposal juga tak masalah. Kan warganya sendiri?




Namun sampai di sini saya merenung sejenak. SBY menyinggung state dan fasilitas Presiden. Lalu sendal dan warung kopi. Karena ucapan SBY sering tidak jelas dan hanya SBY sendiri yang paham, maka terpaksa Pakar Mantan tafsir-tafsirkan. Mungkin yang dimaksud SBY adalah supaya Jokowi menggunakan fasilitas Presiden. Jangan pakai sendal jepit pas bertemu warga, jangan naik pesawat ekonomi meski urusan keluarga dan seterusnya. Presiden itu harus seperti SBY contohnya, kalau datang harus disambut anak-anak SD bawa bendera kecil. Atau hotel penginapannya harus serba biru dan seterusnya.
 

Kemudian SBY juga mempermasalahkan relawan. Katanya tidak harus bersama relawan dan fans. Ini maksudnya apa? Jokowi harus berjarak dengan relawan dan fans yang semua rakyatnya sendiri? Apa salahnya toh Jokowi adalah Presiden. Justru harus selalu dekat dengan jutaan relawan dan fans yang merupakan rakyat Indonesia. Lagipula apa masalah SBY? apa Jokowi diminta fokus dengan PDIP sama seperti saat SBY presiden sekaligus ketua umum partai Demokrat? Saya pikir Jokowi sudah benar terus bersama-sama dengan relawan dan ikut membangun negeri bersama. Relawan harus terus dekat dan memberi masukan, mengontrol setiap kebijakan pemerintah. Tidak boleh ada lagi kabinet diam-diam Hambalang.

Jika bicara soal etika pemerintahan, mana yang lebih beretika menjadi ketum parpol saat masih Presiden atau dekat dengan jutaan relawan dan fans? Ayo mana yang lebih beretika?
Berhubung tadi di awal kita sudah membahas Pak SBY yang oportunis dan ikut zona aman Megawati, sebaiknya Pakar Mantan selesaikan cerita tersebut agar semakin terang benderang bahwa SBY sangat mementingkan kekuasaan.
 

Setelah menjadi Menko Polkam era Megawati, menjelang pemilu 2004 Megawati menginvestigasi para menterinya tentang kesiapan pesta demokrasi. Publik saat itu santer menyebut Yusril Ihza Mahendra, Jusuf Kalla dan Hamzah Haz. SBY termasuk yang ditanya oleh Megawati apakah siap meramaikan pesta demokrasi? Apa alasan Megawati bertanya seperti itu? Pakar Mantan rasa karena Megawati ingin mencari Cawapres dan mengontrol kabinetnya untuk tetap fokus menyelesaikan jabatannya atau segera mundur untuk kampanye.

Saat itu Yusril sebagai Menkumham menjawab dengan jelas apa adanya siap maju sebagai Capres dari PBB. Apakah maju dengan SBY? Yusril menjawab tidak.
 

Sementara saat Megawati bertanya pada SBY, jawabannya tidak jelas. SBY menjawab bahwa ia masih berkonsentrasi pada pelaksaan tugasnya sebagai Menko Polkam.

Memasuki tahun 2004 wajah SBY sering tampil di layar televisi, terkait program sosialisasi pemilu 2004. Tayangan itu dinilai kampanye terselubung SBY yang kemudian distop KPU karena banyak protes.
 

Yang membuat sensi Megawati adalah sikap SBY yang dinilai tidak jantan, yakni tidak mau jujur ketika ditanya Presiden apakah ia hendak mencalonkan diri. Kalau saja SBY mengambil sikap seperti Yusril, persoalan mungkin menjadi lain: sejak awal Megawati pasti akan meminta SBY meninggalkan kabinet; sama halnya dengan Yusril. Namun SBY selalu menunjukkan sikap yang ambivalen, Megawati pun menggunakan taktik lain. Secara sistematis dan diam-diam dia mengucilkan SBY dari kabinet.

Pengucilan itu dilakukan dengan tidak melibatkan SBY dalam sidang kabinet terkait bidang tugasnya. Ketika isu SBY dipinggirkan ini mencuat, Mega sudah mencium aroma politik SBY. 


Muncul pula pernyataan Taufiq Kiemas yang emosional, mengecam sikap SBY yang dinilai “seperti anak kecil”. “Dia menjadi Menko Polkam kan diangkat Presiden. Karena itu mestinya dia lapor ke Presiden bahwa dia mau mencalonkan diri sebagai capres,” komentarnya.

Konflik SBY-Mega berakhir ketika pada 11 Maret 2004, SBY mundur sebagai Menko Polkam. Dua hari setelah mundur, SBY langsung berkampanye untuk Partai Demokrat di Banyuwangi, Jawa Timur. Tentunya, kampanye ini tak mungkin dilakukan mendadak alias telah disusun jauh hari, saat dia masih menjabat sebagai pembantu Megawati.

Itulah taktik dan kecerdasan SBY. Kampanye terselubung saat masih menjadi menteri, berdalih sosialisasi pemilu 2004. Lalu saat 2004 menjadikan “terdzolomi” sebagai komuditas politik serta materi kampanye dan terbukti berhasil menjadikannya Presiden. Tentu saja dibantu JK dengan suara Golkarnya.

Lalu pada 2009 SBY yang tau JK akan maju sebagai Capres menyingkirkan JK dari proyek-proyek peresmiannya. Jika 2004 SBY hanya pencitraan via sosialisasi pemilu dan dihentikan oleh KPU, namun 2009 tak ada yang bisa mengnentikannya. Bahkan baliho super besar bertuliskan “LANJUTKAN” terpampang di jembatan Suramadu tanpa foto JK. Padahal SBY memberi mandat khusus pada JK soal penyelesaian Suramadu. Tapi setelah selesai dan hendak diresmikan, bahkan JK tidak diundang. Semua dilakukan untuk mempertahankan citra SBY tetap tinggi sendiri.
 

Semoga penjelasan dan cerita ini mampu menyadarkan mantan-mantan sekalian yang masih mengangungkan masa lalu.

Tertanda
@Pakar_Mantan(Seword.com)


baca juga: - Kumpulan Meme Kocak Sanusi Gerindra Bikin Ngakak

 - Ini Analisa Pakar Mantan, Benarkah Pembodohan Publik Detikcom Jatuhkan Megawati, Pesanan SBY?

- Nasdem: Dubes Yusron Kalau Mau Jadi Timses Sebaiknya Pulang

 - Ketika Gus Dur Menangis Lihat Kitab Etika Aristoteles, Gus Dur: Jangan Sampai Agama Jadi Alat Politik  

PBNU: Tak Ada Fatwa Larang Pilih Pemimpin Non Muslim  

Beredar Surat Isinya Siap Bunuh Ahok, Teman Ahok Tanggapi Santai  

Mengerikan! Beredar Surat Terbuka Yang Isinya Siap Bunuh Ahok  

FAKTA!! Fitnah Keji Terhadap Ahok Tamat! Ternyata Sanusi Yang Sekongkol Dengan Grup Podomoro  

Ketika Ahmad Dhani Menyamakan Pimpinan Non-Muslim dengan LGBT dan Babi

5 komentar:

  1. Ckckck.. keliatan banget situs ini sedang ngapain.. memalukan.. intinya pesan saya, kalau mau naikin seseorang itu lebih baik bukan dengan cara menjatuhkan orang lain. Be a smart people....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lah..yang mau dinaikin siapa?? Saya sepakat dengan cerita diatas. Emg kala itu, itulah yg terjadi..dari dulu saya ingat,pamor yg diangkat tentang SBY adalah "gagah" kapan lagi punya pemimpin gagah? Adakah prestasinya? Ckckckck.. Periode I sby sukses memang karena kecepatan Kalla kala itu.. Maka dari itu, JK memilih motto "lebih cepat lebih baik" mreka sering berseberangan karna Kalla sering bertindak sendiri mendahului presiden.. Tpi memang apa yg dilakukan Kalla adalah benar.. Dan ternyata benar bukan? Dikala periode 2, Sby adalah presiden yg lamban, bencana dtg pun tidak sigap. Bukan mau menjelakkan.. Tpi,apakah pantas saya puji2 ternyata emng jelek.. Think smart..

      Hapus
    2. @rahman silveria :
      Ini adalah counter attack bung !

      Dihadirkan supaya bisa mencerna apa yg sedang terjadi dan yang telah terjadi. Kalau anda mau 100% menyerap isinya, silahkan. Kalau tidak juga gpp koq.

      Fakta harus diungkap, kenyataan harus dihadirkan, itu saja :)

      Hapus
  2. kesalahan terbesar bangsa ini adalah memilih seorang yg terang terangan tidak mencintai negeri in , dan berikrar mencintai bangsa asing dengan segala kesalahan nya, ini kesalahan terbesar bangsa ini. hal ini mesti di usut pihak intelejen, dan usut tuntas siapa antek antek asing di negara ini

    BalasHapus
  3. Hanya biar ngak lupa. BLUE ENERGY hahahahaha. Yang kayak gitu mah pelajar sma yg sekolah bener udah tahu ngak mungkin. Masak doktor dengan segitu banyak tim ahli dan penasehatnya bisa percaya. Hahahaha. Tong kosong nyaring bunyinya.

    BalasHapus