Perlawanan Fahri dan Kegeraman PKS
Indoheadlinenews.com — Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fahri Hamzah, akan melakukan perlawanan atas upaya pemecatan yang dilakukan DPP PKS terhadap dirinya.
Pemecatan tersebut ditengarai karena Fahri telah melakukan "dosa besar" berulang kali sehingga memunculkan kontroversi dan stigma negatif terhadap PKS.
"Kesalahan mahabesar apa yang dilakukan Fahri Hamzah sehingga dia layak dipecat dari semua jenjang keanggotaan? Dari jenjang kader pemula, kader muda, kader madya, hingga kader ahli," protes Fahri saat menyampaikan keterangan di Kompleks Parlemen, Senin (4/4/2016).
DPP PKS sebelumnya menerbitkan Surat Keputusan Nomor 463/SKEP/DPP-PKS/1437 tertanggal 1 April 2016 yang berisi pemecatan Fahri dari semua jenjang partai. Surat tersebut baru diserahkan DPP PKS kepada Fahri pada Minggu (3/4/2016) malam di kediamannya.
Diterbitkannya SK tersebut, menindaklanjuti putusan Majelis Tahkim Nomor 02/PUT/MT-PKS/2016 tertanggal 11 Maret 2016, yang memutuskan bahwa "menerima rekomendasi BPDO yaitu pemberhentian Saudara Fahri Hamzah, SE dari semua jenjang keanggotaan Partai Keadilan Sejahtera".
"Dosa" Fahri Hamzah
Presiden PKS Sohibul Iman menjelaskan, sebelum tindakan tegas terhadap diambil, DPP PKS telah berkomunikasi dengan Fahri pada 1 September 2015.
Komunikasi itu diikuti oleh dirinya, Fahri, dan pimpinan Majelis Syuro PKS. Dalam pertemuan, Majelis Syuro mengingatkan Fahri agar menjaga norma kesantunan dalam berkomunikasi ke publik. Sebab, sejumlah pernyataan Fahri dianggap cukup kontroversial.
Beberapa pernyataan itu di antaranya menyebut anggota DPR "rada-rada bloon" yang berujung pada dijatuhkannya sanksi ringan kepada Fahri oleh MKD, mengatasnamakan DPR dan menyatakan sepakat untuk membubarkan KPK, serta pasang badan untuk tujuh megaproyek DPR yang bukan merupakan arahan DPP.
"Apalagi posisi FH sebagai Wakil Ketua DPR RI akan selalu menjadi perhatian publik dan diasosiasikan oleh sebagian pihak sebagai sikap dan kebijakan PKS," kata Sohibul dalam penjelasannya yang dikutip dari laman www.pks.or.id, Senin (4/4/2016).
Menurut Sohibul, Fahri saat itu bersedia untuk mematuhi keinginan DPP agar lebih santun dalam bertutur kata. Namun, hal itu tidak berlangsung lama.
Fahri kembali mengeluarkan pernyataan bernada kontroversi, seperti terkait rencana kenaikan gaji anggota dan pimpinan DPR serta terkait revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Sohibul menegaskan, DPP PKS sebelumnya menolak wacana kenaikan gaji pejabat negara termasuk anggota dan pimpinan DPR. Begitu pula terkait wacana revisi UU KPK yang sudah beberapa kali sempat bergulir.
Namun, Fahri justru menyebut pihak yang menolak revisi UU KPK "sok pahlawan" dan ingin menutupi borok yang dimiliki. Sikap tersebut, dianggap bertolak belakang dengan sikap DPP PKS.
"Padahal di saat yang sama WKMS (Wakil Ketua Majelis Syuro) dan Presiden PKS telah secara tegas menolak revisi UU KPK. Silang pendapat yang terbuka antara FH dengan Pimpinan Partai ini tentunya mengundang banyak pertanyaan di publik dan juga dari internal kader PKS," ujar dia.
Melihat kesalahan yang berulang, Majelis Syuro kemudian meminta Fahri untuk mengundurkan diri dari jabatan Wakil Ketua DPR pada 23 Oktober 2015. Hal itu dimungkinkan sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2014 jo UU Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Fahri saat itu disebut bersedia mengundurkan diri. Namun, ia meminta waktu untuk menyiapkan alasan pengunduran diri yang akan dilayangkan melalui surat kepada DPR.
Selain itu, lantaran adanya kesibukan tugas kedewanan, ia meminta agar pengunduran diri itu dilakukan pada pertengahan Desember 2015. DPP PKS, sebut Sohibul, saat itu sempat setuju. Namun tak selang berapa lama, pola komunikasi Fahri justru tak berubah.
Dalam kasus 'papa minta saham' yang melibatkan Ketua DPR saat itu, Setya Novanto, Fahri justru mengeluarkan pernyataan yang tidak proporsional dan kontraproduktif bagi partai.
"Bahkan FH juga melontarkan pendapat-pendapatnya ke publik menyangkut materi persidangan MKD sehingga terkesan mengintervensi proses persidangan di MKD DPR RI.
Hal ini semakin menunjukkan FH tidak melaksanakan komitmennya sebagaimana yang telah disampaikan kepada Pimpinan Partai sejak tanggal 1 September 2015," ujar Sohibul.
Mendapat Perlawanan
Sebagai salah satu pendiri PKS 18 tahun silam, Fahri akan melawan. Ia akan mengajukan gugatan ke pengadilan, sehingga membuat proses pemecatannya sebagai kader PKS dan Wakil Ketua DPR dalam kondisi status quo.
Menurut dia, sejak menjadi kader PKS, tidak pernah ada satu pun kesalahan fatal yang telah ia perbuat.
Ia pun mencontohkan adanya kasus perbuatan tidak senonoh yang dilakukan anggota Fraksi PKS. Anggota tersebut kedapatan menonton video porno, namun hingga kini tidak dipecat dari PKS.
Selain itu, ia menyebut, ada kader yang atas perbuatannya membuat PKS cukup kesulitan jelang Pemilu 2014 lalu. Saat itu, ia mengaku, membela PKS habis-habisan. Akan tetapi, kader tersebut juga tidak dipecat.
"Saya tidak pernah berbuat tidak senonoh, mencuri atau korupsi, melanggar hukum dan etika," kata dia.
"Kalau kata-kata itu persoalan gaya. Tapi, kalau gaya harus jadi pasal dalam hukum, sadarlah bahwa kita kembali ke jaman kegelapan," lanjut Fahri.
Namun, DPP PKS menegaskan, siap memberikan perlawanan balik terhadap Fahri. Menurut Ketua Departemen Hukum DPP PKS Zainudin Paru, pihaknya kini tinggal menunggu gugatan yang akan diajukan Fahri ke pengadilan.
"Intinya DPP PKS sudah siap untuk menghadapi gugatan hukum yang akan dilakukan. Demikian juga kami sudah punya jawaban tentang konteks apa yang akan diajukan saudara Fahri Hamzah di pengadilan," tegas Zainudin di Kantor DPP PKS.
Pengganti Fahri
Di lain pihak, Ketua Bidang Humas DPP PKS Dedi Supriadi mengatakan, hingga kini DPP PKS belum melayangkan surat ke DPR untuk mengajukan pergantian Fahri sebagai Wakil Ketua DPR.
Menurut dia, DPP memiliki waktu 7x24 jam untuk menunjuk siapa pengganti Fahri. Namun, Dedi enggan mengungkapkan siapa yang nantinya akan menduduki kursi Wakil Ketua DPR itu.
Sedangkan, untuk pergantian jabatan Fahri sebagai anggota DPR, PKS menyerahkan sepenuhnya kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebab, KPU lah yang memiliki data siapa yang meraih suara terbanyak kedua setelah Fahri dari Daerah Pemilihan Nusa Tenggara Barat.
"Karena kalau berdasarkan hitungan kami, bisa saja berbeda dengan hitungan KPU. Dan tentu nanti DPR akan meminta kepada KPU," ujar Dedi.(kompas.com)
baca juga: - Wakil Ketua MPR: Gimana Saya Nggak Cinta Sama Jokowi?
- Fahri Dianggap Cocok jadi Anak Buah Prabowo
- Inilah Daftar Kebobrokan Fahri Hamzah bagi Elite PKS
- GP Ansor, Garda Bangsa, dan Banser NU Siap Bubarkan FPI
- Waah.... Terlalu Banyak Kasus, Adik Atut Akan Didakwa Lagi
- Coretan 'Gila' dan 'Nenek Lu' Yang Ditulis Ahok Membuat Anggota DPRD Murka
- Pakar Mantan: Skandal Panama Bocor, Sandiaga Uno Tamat
Tidak ada komentar